Thursday, May 6, 2010

KENAPA SUKA SANGAT BABI?

FLU BABI ADALAH SALAH SATU ALASAN MENGAPA ALLAH MENGHARAMKAN MAKAN BABI
Babi adalah salah satu di antara makanan-makanan yang Allah haramkan dalam Al Qur’an. Seorang Muslim sejati akan menunjukkan keteguhan dalam menaati perintah dan larangan Allah sekalipun ia tidak mengetahui hikmah di balik itu. Namun jika Allah menghendakinya, Dia juga dapat memperlihatkan kepada kita hikmah di balik sesuatu yang telah Dia haramkan. Peningkatan cepat baru-baru ini pada kasus flu babi, sebuah penyakit mematikan, adalah satu di antara alasan mengapa memakan babi adalah haram.

Flu babi adalah penyakit yang disebabkan oleh virus “H1N1” dan dapat ditularkan dari orang ke orang melalui udara. Seperti halnya virus flu pada manusia, virus flu babi terus-menerus berubah dalam tubuh babi. Saluran pernapasan babi memiliki penerima (reseptor) yang peka terhadap virus-virus seperti flu babi, flu manusia dan flu burung. Karena alasan itu, babi memperbesar kemungkinan virus-virus baru muncul di saat semua jenis virus itu tertularkan secara bersamaan. Virus A/H1N1, sebuah gabungan dari virus flu manusia, babi dan burung, hanya muncul pada penerima-penerima (reseptor) yang terdapat dalam saluran pernapasan babi; dengan kata lain, babi berperan sebagai sarang bagi virus-virus untuk bergabung bersama (berpadu). Karena manusia tidak memiliki kekebalan alamiah terhadap virus tersebut dan karena penyebarannya sangatlah cepat, Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah memperingatkan bahwa penyakit tersebut bakal menyebar di luar kendali sebagai sebuah wabak.


Salah satu sisi paling menakutkan dari penyakit tersebut adalah kesamaannya dengan “Flu Spanyol” yang membawa kematian lebih dari 50 juta orang antara bulan September 1918 dan Juni 1920. Virus AH1N1 adalah penyebab penyakit tersebut pada kedua kasus itu. Flu Spanyol juga awalnya ditularkan kepada manusia dari babi-babi di Amerika, dari situ flu tersebut menyebar ke seluruh penjuru dunia, menjadi salah satu wabah terburuk dalam sejarah. Karenanya, jika flu babi tidak bisa dikendalikan, terdapat bahaya bahwa flu babi akan menyebar ke seluruh dunia.

Al Hadits Mengisyaratkan Bahwa Babi Akan Dimusnahkan di Zaman Akhir

Empat belas abad lalu, Nabi kita, Muhammad SAW, mengisyaratkan bahwa babi-babi akan dimusnahkan di Zaman Akhir:

Imam Mahdi (as) akan datang sebagai hakim adil … ia akan membunuh babi dan membagikan harta benda, tapi karena keberlimpahan mereka tak seorang pun akan menerimanya.

(Al-Qawl al-Mukhtasar fi Alamat al-Mahdi al- Muntadhar, hal. 31)


Hadits ini menunjukkan bahwa akan ada pembunuhan massal babi-babi di masa Imam Mahdi (as). Bahkan, negara-negara mungkin harus menempuh jalan pembunuhan massal babi-babi demi mencegah penyebaran flu babi jika hal itu menjadi wabah yang mengancam seluruh dunia. Mesir malahan sudah mulai membunuh babi-babi dalam rangka melindungi diri terhadap penyakit itu. Hadits Nabi kita SAW menyatakan bahwa adalah penting untuk membunuh babi-babi, sumber flu babi, sama seperti pihak berwenang mengeringkan rawa-rawa yang menjadi tempat berkembang biak nyamuk-nyamuk, yang juga senantiasa menyebarkan penyakit.


Sebagaimana telah disebutkan, saluran pernapasan babi memainkan peran utama dalam kemunculan penyakit berbahaya ini. Hal itu hanyalah satu di antara sejumlah alasan di balik pengharaman Allah memakan babi. Ada banyak hikmah lain di balik Allah mengharamkan penggunaan babi. Sebagiannya dapat disebutkan sebagai berikut:

Babi mengandung belerang dengan kadar tinggi

Karena babi mengandung belerang dengan kadar tinggi, ketika dimakan maka sejumlah besar belerang diserap tubuh. Jumlah yang berlebihan dapat menyebabkan berbagai penyakit, seperti infeksi persendian ketika belerang menumpuk di dalam tulang rawan, otot dan saraf; pengapuran dan hernia. Ketika babi dimakan secara teratur, jaringan ikat lunak dari babi menggantikan tulang rawan keras di dalam tubuh. Akibatnya, tulang rawan menjadi tidak mampu menopang bobot badan, yang pada akhirnya membawa pada kelainan persendian.

Babi mengandung hormon pertumbuhan dalam jumlah berlebih

Hormon pertumbuhan dalam kadar berlebihan yang tercerna melalui daging babi mengakibatkan pembengkakan dan kelainan bentuk jaringan. Hal itu dapat menimbulkan penimbunan lemak secara tiba-tiba dan berlebihan. Orang yang memakan babi pada umumnya memiliki bahaya lebih besar mengidap kegemukan. Hal itu berkemungkinan mendorong pertumbuhan yang tidak wajar pada tulang hidung, rahang, tangan dan kaki. Hal paling berbahaya mengenai hormon pertumbuhan dalam jumlah berlebih adalah bahwa hal ini membuka jalan bagi munculnya kanker.


Memakan daging babi menyebabkan penyakit kulit

Zat yang dikenal sebagai “histamin” dan “imtidazol” pada daging babi menyebabkan gatal berlebihan. Zat-zat ini juga membuka jalan bagi penyakit-penyakit kulit menular seperti eksem, dermatitis dan neurodermatitis. Zat-zat ini juga meningkatkan bahaya terjangkiti bisul, radang usus buntu, penyakit kantung empedu dan infeksi pembuluh darah nadi. Karenanya, para dokter menyarankan penderita penyakit jantung agar menghindari makan babi.

Memakan babi menyebarkan cacing trichina

Cacing-cacing trichina yang dicerna melalui daging babi memasuki peredaran darah melalui lambung dan usus dan menyebar ke seluruh tubuh. Cacin trichina terutama mendiami jaringan otot pada daerah rahang, lidah, leher, tenggorokan dan dada. Cacing ini menyebabkan kelumpuhan pada otot-otot gerak mengunyah, berbicara dan menelan. Hal ini juga menimbulkan penyumbatan pembuluh darah balik (vena), meningitis dan infeksi otak. Kasus-kasus parah bahkan dapat berujung pada kematian. Sisi paling berbahaya penyakit ini adalah tidak adanya obat untuk menyembuhkannya. Berjangkitnya wabah cacing trichina telah diamati dari waktu ke waktu di Swedia, Inggris dan Polandia, walaupun sudah dilakukan pengawasan kesehatan hewan.

Babi sangatlah berlemak dan mengandung zat-zat beracun

Babi sangatlah berlemak. Ketika dicerna, lemak tersebut memasuki peredaran darah dan menyebabkan pengerasan pembuluh darah nadi, meningkatkan tekanan darah dan serangan jantung (coronary infarct). Selain itu, babi mengandung suatu racun yang dinamakan “Sutoxin.” Kelenjar getah bening dipaksa bekerja lebih keras untuk mengeluarkan racun ini dari tubuh. Hal ini ditandai dengan membengkaknya kelenjar getah bening, khususnya pada anak-anak. Jika penyakit ini berlanjut, semua kelenjar getah bening akan membengkak, suhu badan naik dan rasa sakit mulai terjadi.

Ini hanyalah secuil bagian hikmah di balik pengharaman Allah memakan babi. Allah juga menunjukkan kepada kita hikmah pengharaman ini dengan menciptakan flu babi di Zaman Akhir. Bagi orang beriman yang tulus, sekalipun tidak memahami mengapa Allah mengharamkan hal apa pun, kewajiban utamanya adalah menjaga batas yang telah ditetapkan-Nya. Namun dengan adanya wabah baru-baru ini Allah memberitahukan kepada kaum beriman satu bagian lagi dari hikmah itu.




May 08, 2009

TAHAP KEPATUHAN KEPUTUSAN MAHKAMAH -kes nafkah

TAHAP KEPATUHAN TERHADAP KEPUTUSAN
MAHKAMAH SYARIAH DALAM KES NAFKAH:
KAJIAN KES NEGERI TERENGGANU

Fatimah Binti Sulaiman

Centre for Islamic Thought and Understanding (CITU)
Universiti Teknologi MARA Terengganu


ABSTRAK

Kajian terhadap persoalan nafkah di Terengganu memang sudah banyak dibuat, cuma persoalan ‘kepatuhan terhadap perintah mahkamah’ amat sedikit. Kajian yang dibuat ini melihat secara dekat tahap kepatuhan lelaki atau suami atau penghutang penghakiman terhadap perintah mahkamah dalam pemberian nafkah terhadap perempuan dan anak-anak selepas berlaku perceraian. Kebimbangan terhadap perkara ini memang wajar timbul memandangkan kadar pengabaian nafkah dan pengingkaran terhadap perintah mahkamah meningkat setiap tahun. Peningkatan kadar pengingkaran menunjukkan tahap kepatuhan tidak memuaskan. Usaha-usaha yang dibuat untuk mengurangkan kadar pengingkaran perintah mahkamah dalam kes nafkah masih tidak berjaya. Usaha-usaha penambahbaikan perlu dirancang dan kajian susulan mungkin patut dibuat.


PENDAHULUAN

Syarak telah menetapkan tanggung jawab mencari nafkah dan menyara keluarga terletak di atas bahu kaum lelaki. Ini sesuai dengan sifat lelaki yang mempunyai binaan badan yang teguh, tenaga yang kuat dan gagah (al-Nisa’: 34; al-Isra’: 26) manakala perempuan yang bersifat lemah lembut, kekuatan yang kurang, berjiwa halus dan penyayang sesuai dengan tanggung jawab mengurus rumah tangga; sebagai ibu dan sebagai isteri. Allah menetapkan tanggungjawab tersebut bertepatan dengan keadaan fitrah masing-masing. Sekalipun secara umum semua orang memahami setiap tanggung jawab yang diwajibkan ke atas bahu mereka akan ditanya dan dihitung oleh Allah tetapi pengabaian terhadap tanggungjawab tetap berlaku termasuklah soal nafkah. Maksud hadith Rasulullah saw, “Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu akan ditanya tentang kepimpinan kamu....” (Hadith riwayat Muslim).

Media banyak memaparkan pelbagai peristiwa yang menggambarkan pengabaian lelaki terhadap nafkah isteri dan anak-anak. Terdapat suami yang malas bekerja, memaksa isteri keluar mencari nafkah hatta ada suami yang sanggup melacurkan isteri, menyempitkan perbelanjaan, tidak mengambil tahu atau buat-buat tidak tahu soal perbelanjaan rumah tangga terutamanya bagi mereka yang mempunyai isteri yang bekerja (Harian Metro, 5 Julai 2005). Pengabaian nafkah lebih ketara apabila berpoligami atau berlaku perceraian (http://www.opensubscriber.com/message/islah, dicapai pada 10 Jan 2008). Mereka tetap berdegil tidak mahu menunaikannya sekali pun dengan arahan mahkamah. Perempuan terpaksa turun naik mahkamah untuk mendapatkan hak mereka dan hak anak-anak (Harian Metro, 5 Julai 2005).

LATAR BELAKANG KAJIAN

Tahap di dalam Bahasa Inggeris disebut ‘ level’ bermaksud tingkat atau peringkat (Kamus Dewan, edisi ketiga). Ia adalah suatu aras pencapaian terhadap sesuatu perkara yang berkaitan dengan suatu bentuk pengukuran atau penilaian. Tahap diukur dengan Tinggi dan Rendah ; Baik, Sederhana dan Lemah; A, B, C, dan D; Lulus atau Gagal; Amat Baik, Baik, Sederhana, Kurang Baik dan Amat Sesuai, Sesuai, Neutral, Tidak Sesuai, dan Amat Tidak Sesuai (Borang Penilaian Keberkesanan Latihan UiTMT). Ukuran yang akan diguna pakai dalam kajian ini ialah Baik dan Tidak Baik, Meningkat dan Menurun, Tinggi dan Rendah dan Berkurangan dan Bertambah.

‘Kepatuhan’ sama makna dengan ketaatan iaitu perihal patuh, taat dan menurut perintah. Kepatuhan atau ketaatan adalah suatu perihal mendengar kata oleh pihak yang lebih rendah terhadap perintah, peraturan dan hukuman yang dikeluarkan oleh pihak yang lebih tinggi. (Kamus Dewan, edisi ketiga). Ini bermaksud pihak yang rendah melaksanakan sepenuhnya perintah yang dikeluarkan oleh pihak yang tinggi tanpa mengingkari atau membelakanginya. Kepatuhan atau ‘compliance’ di dalam Bahasa Inggeris bermaksud ‘agreement or obedience to a rule.’ Kepatuhan dalam kajian ini bermaksud kepatuhan penghutang penghakiman sebagai pihak yang menerima perintah dari mahkamah agar memberi nafkah kepada pihak yang berhak dengan melaksanakan sepenuhnya apa yang diperintahkan oleh institusi tersebut.

Nafkah dari segi bahasa bermakna ‘mengeluarkan’ atau ‘membinasakan.’ Perkataan ‘infaq’ tidak digunakan melainkan berbelanja dalam hal-hal kebaikan. Nafkah dari segi istilah bermaksud ‘ setiap apa yang diperlukan oleh manusia terdiri dari makanan, minuman, pakaian dan tempat tinggal ’ . Keperluan ini dinamakan nafkah sesuai dengan makna dari segi bahasa di mana ia akan binasa atau hilang selepas menggunakannya. (Abul Khairi al-Latifi: 286). Nafkah yang menjadi persoalan kajian kami hanya terbatas kepada nafkah isteri dan anak-anak selepas berlaku perceraian dan tidak termasuk nafkah sebelum berlaku perceraian. Nafkah kepada pihak lain seperti kepada ibu bapa, saudara dan pembantu rumah tidak dibincangkan kerana ia di luar skop kajian. Nafkah kepada isteri pula hanya dalam aspek nafkah zahir dan tidak termasuk nafkah batin. Nafkah kepada isteri selepas berlaku perceraian meliputi nafkah iddah dan bayaran mut’ah.

Mahkamah adalah satu institusi yang bertanggung jawab membicarakan kes dan menjatuhkan hukuman mengikut peruntukan undang-undang yang ada. Building in which law cases can be heard and judged (Longman Dictionary of Contemporary English: 236). Mahkamah dalam kajian ini adalah Mahkamah Syariah yang meliputi Mahkamah Rendah Syariah, Mahkamah Tinggi Syariah dan Mahkamah Rayuan yang ada di Negeri Terengganu.

Tahap kepatuhan yang mahu diukur dalam kajian ini ialah tahap kepatuhan pihak penghutang kehakiman terhadap perintah yang dikeluarkan oleh Mahkamah Syariah agar membayar nafkah kepada pihak yang berada di bawah tanggungannya selepas berlaku perceraian dalam tempoh tahun kajian iaitu di antara tahun 1999 hingga tahun 2004. Kepatuhan disini meliputi kepatuhan terhadap perintah mahkamah ketika penyelesaian perceraian dan juga perintah ketika membuat keputusan terhadap permohonan penguatkuasaan dan pelaksanaan oleh pihak yang hak mereka diabaikan. Kebiasaannya permohonan penguatkuasaan dan pelaksanaan dibuat oleh isteri/ibu apabila suami/bapa tidak mematuhi perintah mahkamah supaya memberi nafkah atau apa-apa hak mereka atau hak anak-anak. Tahap kepatuhan penghutang penghakiman terhadap perintah mahkamah Tinggi dan Rendah diukur dengan penganalisaan terhadap statistik kadar perceraian, kes nafkah dan permohonan penguatkuasaan dan pelaksanaan.

Kajian ini mungkin boleh menjadi sumber maklumat tambahan kepada Mahkamah Syariah ke arah memenuhi matlamat fungsi sebenar kewujudan mahkamah sebagai institusi yang bertanggung jawab menyelesaikan masalah-masalah yang difailkan khususnya dalam kes berkaitan nafkah.
.
Dalam kajian yang dilakukan oleh Kamalruazmi Ismail (2003) terhadap Penguatkuasaan dan Pelaksanaan Perintah Mahkamah Syariah Negeri Terengganu dari tahun 1998 hingga tahun 2003, kes-kes yang berkaitan dengan pengingkaran perintah mahkamah dalam kes nafkah berlaku berterusan sekali pun pelbagai usaha telah dibuat untuk membenterasnya. Hal yang sama ditegaskan oleh Yang Arif Tuan Haji Sheikh Ahmad bin Ismail Hakim Mahkamah Tinggi Syariah Negeri Terengganu. (Temubual penyelidik dengan Y.A. Tuan Haji Shaikh Ahmad bin Ismail di kamar Hakim JKSTR pada 14 Mei 2006 jam 3.00 ptg). (Lihat kes Fatimah binti Razali, 1988).

KAEDAH KAJIAN

Kajian ini merupakan kajian kualitatif. Untuk memenuhi tujuan penyelidikan dan kriteria penyelidikan kualititif, pencarian fakta lebih banyak ditumpukan kepada sumber sekunder yang terdiri dari buku, enakmen-enakmen, al-Quran, al-hadith, sumber internet, akhbar dan lain-lain. Walau bagaimana pun sumber primer tidak diabaikan. Sumber primer diperolehi dari temuramah dengan orang-orang berkaitan. Soalan yang dikemukakan berbentuk ‘ open ended ’ yang distrukturkan bagi mendapat maklumat sejajar dengan kehendak penyelidikan. Soal selidik kepada pihak yang hak mereka diabaikan tidak dibuat kerana maklumat yang dikehendaki boleh diperolehi dari Jabatan Kehakiman.

Analisa Kajian

Dalam penganalisaan data dan fakta, penyelidik mengambil pendekatan secara konstruktif iaitu menganalisa statistik yang diperolehi contohnya membuat analisa terhadap staistik kadar perceraian, kadar pengabaian,kadar permohonan penguatkuasaan dan pelaksanaan dari tahun ke tahun meliputi tahun-tahun kajian. Hasilnya kita akan mendapat jawapan terhadap persoalan yang mahu dicari jawapan iaitu tahap kepatuhan lelaki terhadap perintah Mahkamah Syariah dalam pelaksanaan tanggungjwab memberi nafkah samada Baik atau Tidak Baik, Tinggi atau Rendah atau Memuaskan atau Tidak.

Ulasan Karya

Statistik kes mal yang dikeluarkan oleh Jabatan Kehakiman Syari’ah Negeri Terengganu bagi tahun 1998 hingga 2001 mendedahkan kes berkaitan pengabaian nafkah yang difailkan di mahkamah bertambah setiap tahun. Bagi tahun 1998 terdapat 64 kes; tahun 1999, 96 kes; tahun 2000, 151 kes manakala tahun 2001 terdapat 769 kes. Menurut En Kamalruazmi tidak semua pihak-pihak yang terbabit yang hak mereka telah diabaikan oleh suami atau bapa tampil memfailkan permohonan. Ini bermakna kadar sebenar tentu lebih tinggi dari kadar yang ada di dalam statistik di atas (Kamalruazmi Ismail: 116). Kadar pengabaian nafkah yang tinggi bermakna tahap kepatuhan terhadap perintah mahkamah adalah rendah sebaliknya kalau kadar pengabaian nafkah rendah, ini bermakna tahap kepatuhan terhadap perintah mahkamah adalah tinggi. Oleh kerana isu kepatuhan perintah mahkamah timbul ekoran dari masalah perceraian dan kes nafkah, maka untuk melihat tahap kepatuhan, kajian kami bermula dengan dua persoalan ini. Kebiasaannya kadar perceraian yang tinggi akan terdedah kepada kadar pengabaian nafkah yang juga tinggi. Walaubagaimana pun keadaan sebaliknya mungkin boleh berlaku di mana kadar perceraian tinggi tetapi tahap pengabaian adalah rendah.

Pengabaian nafkah merupakan satu dosa kerana nafkah adalah perkara yang wajib ditunaikan. Rasulullah saw bersabda yang bermaksud, ”Besarlah dosa manusia yang mensia-siakan orang yang menjadi tanggungannya”. Sabda Rasulullah saw lagi yang bermaksud ”Cukup berdosalah orang yang menahan nafkah ke atas orang yang ditanggungnya” – (riwayat Muslim). Maksud hadith lain,“Takutlah kamu kepada Allah dalam urusan para wanita kerana sesungguhnya kamu telah mengambil mereka dengan kepercayaan Allah dan hak bagi kamu mencampuri mereka dengan kalimah Allah dan diwajibkan atas kamu (suami) memberi nafkah dan pakaian kepada mereka dengan cara sebaik-baiknya iaitu yang layak” (riwayat Muslim). Hadith riwayat Muslim - dari Jabir ra. sabda Rasulullah saw, “Maka takutilah Allah dalam perkara yang berkaitan dengan kaum wanita kerana sesungguhnya kamu telah mengambil mereka (sebagai isteri) dengan amanah Allah dan telah meminta agar kemaluan mereka dihalalkan untuk kamu dengan kalimah Allah, mereka bertanggung jawab terhadap kamu untuk tidak membenarkan sesiapa yang kamu tidak sukai masuk ke dalam rumah kamu, maka jika mereka melakukan demikian, hendaklah kamu pukul mereka dengan pukulan yang tidak mencederakan. Kamu bertanggungjawab atas mereka untuk memberi makan dan pakaian kepada mereka secara makruf dan sesungguhnya aku telah meninggalkan kepada kamu sesuatu yang mana jika kamu berpegang dengannya kamu tidak akan sesat” (iaitu kitab Allah).

Di Negeri Terengganu, undang-undang utama yang diguna pakai berhubung dengan nafkah ialah dalam Enakmen Undang-Undang Pentadbiran Keluarga Islam (1985) dan Enakmen Tatacara Mal Mahkamah Syari’ah Terengganu (2001). Peruntukan-peruntukan di dalam enakmen ini secara umum bertepatan dengan apa yang ditetapkan oleh syarak. Kewajipan memberi nafkah kepada isteri dan bekas isteri selagi mereka tidak melakukan nusyuz dan perkahwinan berterusan ditetapkan di dalam seksyen 58. Perceraian menyebabkan nafkah terhenti. Walaubagaimana pun harus difahami apabila berlaku perceraian bukan bermakna nafkah isteri terputus serta merta. Perempuan masih berhak mendapat nafkah dalam tempoh iddah bagi perkahwinan talak raj’i selagi tidak berlaku nusyuz (T. Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy: 269; Mahmood Zuhdi: 181). Hal ini juga dinyatakan dalam seksyen 58(1) Enakmen Undang-Undang Pentadbiran Keluarga Islam (1985). Bagi Syafi’iyyah, Malikiyyah dan segolongan ulama’ lain perempuan talak bain tidak berhak mendapat nafkah makan minum dan lain-lain ketika dalam iddah tetapi berhak mendapat hak tempat tinggal. Nafkah sepenuhnya perlu diberi sekiranya perempuan itu hamil sehinggalah dia melahirkan anak (Hj Idris Ahmad: 429-430; T. Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy: 269; Al-Talaq: 6; Enakmen Undang-Undang Pentadbiran Keluarga Islam (1985) seksyen 58(1)).

Berpandukan seksyen 58(1), perintah nafkah ‘iddah kepada bekas isteri akan dikeluarkan oleh Mahkamah Syariah setelah tuntutan difailkan oleh bekas isteri atau pun dibuat melalui persetujuan bersama antara pihak-pihak terlibat sewaktu proses perceraian di mahkamah. Selain dari nafkah ketika iddah, perempuan yang diceraikan juga berhak mendapat bayaran mut’ah. Tidaklah ada halangan atas kamu jika kamu mentalaq perempuan-perempuan selama kamu tidak menyentuh mereka atau sebelum kamu tentukan kepada mereka mahar yang difardhukan dan berilah kepada mereka bekal (mut’ah ) iaitu bagi orang yang berkelapangan sekadar kemampuannya dan bagi orang yang kesempitan menurut kadarnya pula iaitu bekalan sepatutnya. Adalah menjadi kewajipan bagi orang yang ingin membuat kebajikan (Surah al-Baqarah: 236). Mengikut Imam Syafi’i, mut’ah diwajibkan ke atas suami sekiranya perceraian itu dari kehendak suami dan bukan dari permintaan isteri atau tebus talak (Mahmood Zuhdi: 176-178). Peruntukan mut’ah wujud di dalam semua Enakmen Keluarga Islam, kecuali Sabah dan Serawak. Oleh kerana bagi dua negeri ini tidak ada peruntukan, mahkamah boleh memerintahkan pembayaran dibuat mengikut peruntukan yang ada di dalam syarak (Mahmood Zuhdi: 176-178).

Mahkamah mempunyai kuasa boleh bila-bila masa dari semasa ke semasa mengubah atau membatalkan sesuatu perintah nafkah yang masih berkuatkuasa samaada bercagar atau tidak atas permohonan orang yang berhak menerima nafkah atau orang yang kena membayar nafkah, sekiranya mahkamah berpuashati bahawa perintah yang telah dibuat sebelum itu telah diasaskan atas sesuatu salah pernyataan atau kesilapan fakta atau jika sesuatu perubahan material telah berlaku (seksyen 65) Dalam seksyen 66, mahkamah juga mempunyai kuasa mengubah apa-apa syarat di dalam perjanjian antara suami dan isteri tentang nafkah sekiranya mahkamah mendapati telah berlaku perubahan dari segi material pihak-pihak yang terlibat. Ini bermakna, mahkamah boleh menambah atau mengurangkan kadar yang telah ditetapkan dengan mengambil kira kepentingan kedua-dua belah pihak setelah permohonan dibuat dari salah satu pihak yang terlibat. Dalam menentukan kadar nafkah yang perlu dibayar, seksyen 60 menyatakan mahkamah boleh mengasaskan pentaksirannya mengikut kemampuan pihak suami dan juga keperluan kedua-dua pihak tanpa melihat kepada kedudukan atau pendapatan isteri. Seksyen 58(1) memperuntukkan sekiranya pengabaian nafkah berlaku, isteri boleh memfailkan permohonan penguatkuasaan dan pelaksanaan perintah di mahkamah. Suami wajib mematuhi perintah tersebut dan sebarang keingkaran boleh diambil tindakan melalui proses penguatkuasaan dan pelaksanaan perintah di mahkamah.

Kewajipan memberi nafkah kepada anak-anak diperuntukkan di bawah seksyen 71 dan 72 enakmen yang sama. Bapa wajib menyediakan nafkah kepada anak-anak; lelaki atau perempuan sama ada tinggal bersamanya atau tidak yang meliputi tempat tinggal, makanan, pakaian, perubatan dan pelajaran mengikut kemampuan dan taraf hidupnya. Bagi anak yang tidak mempunyai bapa, kewajipan memberi nafkah berpindah kepada datuk iaitu bapa kepada bapa kemudian orang-orang selepasnya. Seksyen ini juga memperuntukkan permohonan untuk mendapatkan nafkah anak terhadap bapa boleh dibuat oleh sesiapa sahaja yang anak-anak itu tersebut berada di bawah jagaannya. Kebiasaannnya permohonan tersebut dibuat oleh ibu. Kemungkiran mematuhi perintah mahkamah boleh di dikenakan hukuman sebagai menghina mahkamah (seksyen 73(2)).

Seperti mana dalam kes nafkah isteri, kegagalan memberi nafkah kepada anak merupakan hutang yang wajib dibayar dan sekiranya bapa meninggal, ia boleh diambil dari pesaka (seksyen 68). Tanggung jawab memberi nafkah kepada anak akan berakhir apabila anak mencapai umur 18 tahun bagi anak lelaki dan berkahwin bagi anak perempuan. Walaubagaimanapun tempoh bagi anak lelaki boleh dilanjutkan oleh mahkamah atas permohonan apabila mahkamah memikirkan menasabah seperti kanak-kanak tidak boleh mencari pendapatan sendiri kerana melanjutkan pelajaran atau mengikuti latihan (seksyen 78). Berhubung dengan kewajipan mematuhi perintah mahkamah, selain dari terdapat di dalam Enakmen Undang-Undang Pentadbiran Keluarga Islam Terengganu (1985), juga ditetapkan di dalam Enakmen Tata Cara Mal Mahkamah Syariah (Terengganu) (2001), Seksyen 147(1).

Tanggung jawab seorang hakim dalam sesuatu perbicaraan tidak selesai dengan mengeluarkan hukuman, tanpa diikuti dengan perintah penguatkuasaan dan pelaksanaan. Perintah pelaksanaan dan penguatkuasaan adalah merupakan sebahagian daripada hukuman itu sendiri. Seorang hakim setelah menjatuhkan hukuman, hendaklah memerintahkan pihak yang ke atasnya hukuman dikenakan supaya melaksanakan perintah yang dikeluarkan. Perintah penguatkuasaan dan pelaksanaan sekali lagi boleh dikeluarkan oleh mahkamah tersebut apabila permohonan dibuat oleh pihak yang berkepentingan ekoran pengabaian terhadap perintah hakim yang telah dikeluarkan.

Bailif adalah orang yang bertanggung jawab mempastikan penghukuman yang dikeluarkan dipatuhi (seksyen 130, Enakmen Undang-Undang Pentadbiran Keluarga Islam Terengganu, 1985 dan seksyen 176 Enakmen Tatacara Mal Mahkamah Syari’ah Terengganu, 2001). Sekiranya perintah pembayaran nafkah dengan sengaja tidak dipatuhi, mahkamah berhak mengambil beberapa langkah mengarahkan supaya jumlah yang kena dibayar itu didapatkan mengikut cara yang diperuntukan oleh undang-undang berserta dengan denda-denda setelah permohonan penguatkuasaan dan pelaksanaan dibuat oleh pihak yang berkepentingan. Mahkamah boleh menjatuhkan hukuman penjara ke atas orang yang sengaja cuai mematuhi perintah nafkah. Mengikut Hakim Mahkamah Rendah Syariah Kemaman merangkap Mahkamah Rendah Syariah Dungun, Yang Arif Kamaruazmi, hukuman penjara adalah hukuman yang paling berkesan. Tertakluk kepada seksyen 148(1) Enakmen Tata Cara Mal Mahkamah Syariah (Terengganu) (2001), suatu penghakiman atau perintah bagi pembayaran wang selain penghakiman atau perintah bagi pembayaran wang ke dalam mahkamah, bolehlah dikuatkuasakan melalui cara-cara; perintah penyitaan dan penjualan atau prosiding hiwalah atau perintah pengkomitan. Apabila mahkamah menerima sesuatu permohonan di bawah seksyen 176 Enakmen Tata Cara Mal Mahkamah Syariah Terengganu (2001), mahkamah akan mengeluarkan saman terhadap penghutang penghakiman dalam tempoh sekurang-kurangnya 7 hari sebelum tarikh pemeriksaan (seksyen 177(1) dan (2), Enakmen Tata Cara Mal Mahkamah Syariah (Terengganu), 2001). Jika penghutang penghakiman tidak hadir pada hari yang ditetapkan untuk pendengaran saman, mahkamah boleh memerintahkan supaya dia ditangkap dan dibawa ke mahkamah untuk diperiksa atau terus membuat keputusan tanpa kehadirannya. (seksyen 178(1)) dan seksyen 121 Enakmen Tata Cara Mal Mahkamah Syariah (Terengganu), 2001).

DAPATAN DAN ANALISA DATA

Berdasarkan data dari JAKIM yang diperolehi melalui Laman Informasi Islam, Terengganu tidak termasuk negeri yang menduduki ranking atas dari segi kadar perceraian yang tinggi di Malaysia. Ranking dibuat berdasarkan kadar perceraian dengan dibuat bandingan dengan negeri-negeri lain. Pada 1999, 2000, 2004 dan 2005 Terengganu menduduki tempat ketujuh, tahun 2001 tempat kelima dan tahun 2002 dan 2003 tempat ke lapan (http://www.islam.gov.my/informasi, dicapai pada 10 Jan 2008).
Walaubagaimanapun, kadarnya dari tahun ke tahun semakin meningkat. Tahun 2000 1741 kes; tahun 2001, 1972 kes dan tahun 2002, 2162 kes. Kadar bagi tahun 2003 ialah 1760 iaitu sehingga bulan Jun sahaja.

Jadual 1: Kes Perceraian

Perkara 2000 2001 2002 2003 (sehingga Jun )
Perceraian 1741 1972 2162 1760

Kalau diperhatikan kepada semua jenis kes yang termasuk dalam himpunan kes perceraian, kadarnya naik dari tahun ke tahun. (Tahun 2003 kadar bagi semua bentuk perceraian adalah sehingga bulan Jun sahaja). Oleh itu kadar bagi tahun ini tidak boleh di ambilkira dalam analisa. Kes permohonan cerai, tahun 2000, 616 kes; tahun 2001, 713 kes; tahun 2002 meningkat kepada 745 kes (tahun 2003, 614 kes). Kes pengesahan lafaz cerai, tahun 2000, 596 kes, naik kepada 613 kes pada tahun 2001, kemudian naik lagi kepada 632 kes pada tahun 2002 (tahun 2003, 542 kes). Kes fasakh tahun 2000 terdapat 40 kes; tahun 2001, 75 kes; tahun 2002, 143 kes. Tahun 2003, kurang satu kes sahaja dari tahun sebelumnya (142 kes) (kadar ini sehingga bulan Jun sahaja). Seperti mana kes-kes di atas kes, ta’liq juga bertambah setiap tahun. Tahun 2000, 489 kes; tahun 2001, 571 kes, tahun 2002 meningkat kepada 642 kes (tahun 2003, 480 kes). Jumlah keseluruhan bagi semua kes yang dikira termasuk dalam kes-kes cerai ialah tahun 2000 1741; tahun 2001 1972 kes; tahun 2002, 2162 kes dan tahun 2003, 1760 kes (sehingga Jun sahaja). Kadar ini jelas menunjukkan ia bertambah setiap tahun.

Jadual 2: Kes-kes Dalam Himpunan Cerai tahun 2000 hingga Jun 2003

Jenis 2000 2001 2002 2003
Daftar Selesai Daftar Selesai Daftar Selesai Daftar Selesai
Perm Cerai 616 430 713 489 745 434 614 343
Lafaz Cerai 596 519 613 497 632 411 524 300
Fasakh 40 16 75 41 143 61 142 49
Ta’liq 489 285 571 282 642 348 480 166
JUMLAH 1741 1250 1972 1309 2162 1254 1760 858


Kes berkaitan nafkah yang meliputi nafkah anak dan isteri dan kes mutaah dari tahun 2000 hingga tahun 2004 bertambah setiap tahun kecuali tahun 2004 turun sedikit berbanding dengan tahun 2003. Kes nafkah isteri/anak tahun 2000 ialah 96, kemudian meningkat kepada 151 untuk tahun 2001 dan meningkat lagi secara mendadak pada tahun 2003 kepada 769 kes dan tahun 2004 turun sedikit iaitu 755. Secara kasar, ini menunjukkan golongan lelaki yang tidak memberi nafkah kepada isteri dan anak-anak meningkat setiap tahun.

Perkara 2000 2001 2002 2003
Nafkah Anak/Isteri 96 151 769 755
Mutaah 37 269 285 270
Jadual 3: Kes nafkah anak/isteri dan Mutaah
















Berikut adalah kes rayuan yang dibuat oleh pihak yang hak mereka diabaikan berikutan ketidakpatuhan pihak lelaki terhadap perintah mahkamah.


Jadual 4: Kes Tuntutan Nafkah (Kes-kes berkaitan Tahap Kepatuhan, 2000-2004)

Perkara 2000 2001 2002 2003 2004
Tuntutan Mutaah 58 58 33 14 59
Hina Perintah Mahkamah 24 26 18 0 0
Tuntutan Edah 0 18 38 5 0
Penguatkuasaan nafkah 0 5 19 159 141
Pelaksanaan perintah mahkamah 0 7 5 48 157
TuntutanPenghutangKehakiman 0 0 2 0 31
TuntutanNafkahTambahanAnak 11 19 6 0 0
JUMLAH 93 133 121 226 388


Semua kes-kes di atas adalah kes yang berada dalam kumpulan Kes Tahap Kepatuhann. Kes-kes di atas muncul di mahkamah ekoran pihak lelaki tidak menunaikan tanggung jawab memberi hak nafkah atau hak-hak tertentu kepada perempuan dan anak-anak atau dengan kata lain kerana mereka tidak mematuhi perintah mahkamah. Jumlah keseluruhan dari tujuh jenis kes pengabaian nafkah bagi tahun 2000 ialah 93 kemudian jumlah ini meningkat secara mendadak bagi tahun 2001 kepada 133, kemudian menurun sedikit kepada 121 bagi tahun 2002. Penurunan tidak kekal lama apabila tahun berikutnya (2003) naik semula iaitu 226 kes dan terus naik lagi pada tahun 2004 menjadi 388 kes. Dari suasana ini dapat disimpulkan kadar pematuhan terhadap perintah mahkamah TIDAK BAIK kerana makin menurun setiap tahun atau pengingkaran sentiasa meningkat.

KESIMPULAN

Dari analisa di atas dapat dibuat kesimpulan bahawa
1. Negeri Terengganu tidak termasuk negeri yang menduduki ranking atas dari segi kadar perceraian.
2. Kadar perceraian semakin meningkat dari tahun ke tahun
3. Golongan lelaki yang tidak memberi nafkah kepada isteri dan anak-anak meningkat setiap tahun.
4. Kadar pematuhan terhadap perintah mahkamah TIDAK BAIK kerana makin menurun setiap tahun atau pengingkaran semakin meningkat.

Apabila kadar perceraian, kadar pengabaian nafkah dan pengingkaran terhadap perintah mahkamah dalam kes nafkah sentiasa meningkat setiap tahun atau dengan kata lain, tahap kepatuhan terhadap perintah mahkamah TIDAK BAIK ini bermakna usaha-usaha yang telah dibuat oleh pihak kerajaan, pihak mahkamah dan pihak-pihak lain dalam menyelesaikan persoalan perceraian dan pengabaian nafkah masih belum berjaya dan usaha lain harus dirancang. Penyelidik-penyelidik mungkin boleh membantu pihak berkenaan dengan membuat kajian lanjutan kepada kajian kami khusus dalam soal cara mengatasi masaalah ini.


RUJUKAN

Al-Quran, Tafsir Pimpinan al-Rahman Kepada Pengertian al-Qur’an . Kuala Lumpur: JAKIM.

Imam al-Bukhari, Sahih al-Bukhari. (-------------). Terjemahan Hadis. Singapore: Darul Fajar Publishing House. 4 jilid.

Al-Imam Muslim, Sahih Muslim, Terjemahan Hadith. Singapore : Darul Fajar Publishing House,4 jilid.

Abul Khairi al-Latifi. (2000). Fiqh Perkahwinan Menurut Mazhab al-Imam al-Syafi’i. Kuala Lumpur: Al-Hidayah.

Borang Penilaian Keberkesanan Latihan UiTMT

Enakmen Tata Cara Mal Mahkamah Syariah Terengganu 2001.

Enakmen Undang-Undang Pentadbiran Keluarga Islam 1985.

Enakmen Tatacara Mal Mahkamah Syari’ah Terengganu 2001

Harian Metro: 5 Julai 2005.

http://www.opensubscriber.com/message/islah.

Idris Ahmad S. H. (1983). Fiqh Syafii. Jilid 2, Kuala Lumpur: Penerbitan Pustaka Antara.

Kes Fatimah binti Razali. 1988

T. Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy. (1970). Hukum-Hukum Fiqh Islam. Cetakan 4. Jakarta: Bulan Bintang

Kamus Dewan, edisi ketiga.

Kamalruazmi Ismail. (2003). Penguatkuasaan dan Perlaksanaan Perintah Mahkamah Syariah Negeri Terengganu, Satu Kajian Dari Aspek Keberkesanan. Tesis master yang tidak diterbitkan, Universiti Malaya, Kuala Lumpur, Malaysia.

Longman Dictionary of Contemporary English. New Edition. London: Longman

Mahmood Zuhdi Hj Abdul Majid. (1989). Undang-Undang Keluarga Islam, Konsep dan Perlaksanannya di Malaysia. Kuala Lumpur: Karya Abazie.

T. Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy. (1970). Hukum-Hukum Fiqh Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

Temubual penyelidik dengan Y.A. Tuan Haji Shaikh Ahmad bin Ismail di kamar Hakim JKSTR pada 14 Mei 2006 jam 3.00 ptg)